Korupsi adalah sebuah tindakan aksi atau perilaku.
Sebagaimana perilaku lainnya, ia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor
sosial maupun faktor individual. Faktor sosial penyebab perilaku korup
bermacam-macam, karenanya pendekatan yang digunakan untuk melihat fenomena
korupsi juga beraneka ragam, misalnya pendekatan sosial budaya, pendekatan
agama, pendekatan hukum, dan pendekatan politik. Namun agaknya pendekatan
individual terhadap korupsi kurang mendapat perhatian. Padahal sebagai sebuah
perilaku manusia, korupsi lahir pula dari faktor psikologis manusianya. Tulisan
ini mencoba melihat korupsi dari sisi psikologis dan upaya menguranginya
melalui pendekatan psikologi.
Perilaku Korup
Sebagai perilaku, korupsi memiliki aspek-aspek yang serupa
dengan perilaku lainnya. Pertama adalah sikap yang dimiliki. Bila seseorang
memiliki sikap yang positif terhadap korupsi maka kecenderungan seseorang untuk
melakukan korupsi cenderung besar. Namun hal ini tidak berarti bila sikap
seseorang negatif terhadap korupsi akan membuat seseorang tidak berkorupsi.
Contoh dari fenomena ini banyak sekali. Pejabat-pejabat dari berbagai tingkatan
sering mengecam dan mengutuk korupsi. Namun toh, mereka melakukan korupsi juga.
Bila pelaku korupsi ditanya sikapnya tentang korupsi, hampir bisa dipastikan
akan menilai korupsi sebagai keburukan. Antara sikap dan perilaku kadangkala
tidak sejalan, dan untuk korupsi ‘seringkali’ tidak sejalan. Jadi, sikap
positif atau negatif terhadap korupsi belum bisa dijadikan prediksi yang kuat
atas timbulnya perilaku korup.
Kedua adalah intensi atau niat untuk melakukan korupsi.
Baik sikap positif maupun negatif terhadap korupsi bisa melahirkan niat untuk
berkorupsi. Seseorang yang bersikap positif mungkin berniat melakukan korupsi
mungkin juga tidak. Sebaliknya seseorang yang memiliki sikap negatif mungkin
tidak berniat mungkin juga berniat. Hanya saja bila seseorang bersikap positif
terhadap korupsi maka niat melakukan korupsi cenderung lebih besar daripada
yang memiliki sikap negatif. Niat ini dipengaruhi oleh keadaan dan situasi.
Misalnya saja adanya tuntutan akan taraf hidup yang lebih baik, tuntutan untuk
melepaskan diri dari kesulitan dan lainnya. Daripada sikap, niat lebih dekat
terhadap perilaku. Jadi, niat terhadap korupsi lebih bisa dijadikan prediksi
terhadap kemungkinan timbulnya perilaku korup.
Ketiga adalah norma sosial masyarakat terhadap korupsi.
Bila norma sosial tegas melarang korupsi dan bahkan menyediakan berbagai
mekanisme sanksi sosial terhadap perilaku korup, maka kemungkinan timbulnya
korupsi kecil. Seperti yang kita tahu, norma sosial cukup berpengaruh terhadap
perilaku, apalagi di Indonesia yang memiliki budaya kolektif. Dalam kasus
Indonesia, sesungguhnya norma sosial yang ada mengecam keberadaan korupsi. Akan
tetapi semakin tampak belakangan ini masyarakat semakin permisif terhadap
korupsi. Seolah-olah perilaku korup dimaklumi bersama sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Justru akan dinilai aneh bila seseorang tidak korupsi.
Agaknya (belum diketahui ada penelitian mengenai hal ini) norma sosial di
Indonesia saat ini ikut mendorong tumbuhnya korupsi.
Gejala semakin permisifnya masyarakat terhadap korupsi
berawal dari luasnya korupsi di masyarakat itu sendiri. Ketidakberdayaan
pemerintah menangani korupsi (memang sulit menyembuhkan diri sendiri) membuat
masyarakat mau tidak mau harus menjadikan korupsi sebagai bagian dari kenyataan
sosial. Akibatnya norma sosial yang merupakan konvensi bersama masyarakat turut
pula berubah lebih akomodatif terhadap korupsi.
Keempat adalah norma subjektif yang diyakini individu.
Norma subjektif ini dipengaruhi diantaranya oleh tingkat religiusitas. Bila
seseorang memiliki tingkat keberagamaan yang lebih matang daripada umumnya
masyarakat maka kecenderungan orang itu untuk melakukan korupsi juga kecil,
karena adanya ancaman lebih tegas dalam agama mengenai korupsi. Norma subjektif
yang mengutamakan aspirasi materi juga akan memprediksi kemungkinan seseorang
melakukan tindakan korup.
Kelima adalah kesempatan yang tersedia untuk melakukan
korupsi. Faktor kesempatan ini merupakan faktor yang paling dekat dengan
perilaku korupsi. Jadi, faktor ini yang paling baik untuk memprediksi perilaku
korupsi. Instansi yang memiliki pengawasan lemah akan memiliki kemungkinan
lebih besar memunculkan perilaku korup. Adanya istilah ‘tempat basah’ dan
‘tempat kering’menunjukkan adanya tempat yang memiliki peluang lebih besar
untuk korupsi daripada tempat yang lain.
Upaya Pemberantasan Korupsi
Sebagai sebuah tindakan merugikan sudah selayaknya korupsi
diberantas. Berbagai pendekatan digunakan dalam upaya tersebut. Salah satu yang
paling populer adalah pendekatan hukum. Dipercaya bahwa hukum yang kuat dan
tegas akan efektif dalam menekan angka korupsi. Pendekatan hukum ini berkaitan
pula dengan pendekatan politik karena adanya hukum yang kuat dan tegas dalam
pemberantasan korupsi merupakan produk dari adanya political will dari
pemerintah yang berkuasa.
Anak dari pendekatan politik adalah pendekatan ekonomi yang
didasari asumsi bahwa penghasilan rendah para pejabat negara yang telah
menyebabkan terjadinya praktek korupsi. Karenanya upaya penanganan yang efektif
adalah dengan meningkatkan gaji para pejabat negara. Tiga pendekatan inilah
yang paling sering dimunculkan terutama pada era kepresidenan Abdurahman Wahid.
Pendekatan psikologi dalam pemberantasan korupsi, yang
tentunya dintegrasikan dalam berbagai pendekatan lain, menekankan pada
perubahan sikap, pereduksian niat dan kesempatan serta manipulasi norma sosial
dan norma subjektif. Upaya melakukan hal-hal tersebut merupakan upaya integral
yang satu sama lain tidak dapat dipisahpisahkan. Semuanya saling terkait secara
erat.
Berbagai langkah yang bisa ditempuh diantaranya, pertama,
adalah mengubah sikap agar seseorang memiliki sikap negatif terhadap korupsi.
Proses perubahan sikap ini bisa dilakukan diantaranya dengan menginformasikan
dampak dari korupsi secara luas yang berdasarkan data akurat. Diharapkan
pengetahuan yang memadai akan dampak korupsi yang sangat buruk bisa menimbulkan
disonansi atau kesenjangan kognitif, dimana pikiran individu tentang enaknya
hasil korupsi akan bertentangan dengan pikiran akan dampak korupsi yang
dilakukannya terhadap orang banyak. Darinya diharapkan terjadi perubahan sikap
menjadi lebih negatif terhadap korupsi.
Kedua mereduksi niat untuk melakukan korupsi. Seperti yang
telah kita lihat diatas, niat untuk berkorupsi bisa dimunculkan karena adanya
tuntutan kebutuhan tertentu. Bila kebutuhan itu terpenuhi diharapkan niat
korupsi juga berkurang. Kebijakan kenaikan gaji yang populer beberapa waktu
lalu mendasarkan pada kerangka berpikir demikian.
Sementara itu upaya memanipulasi norma sosial bisa
ditunjukkan dengan kesungguhan pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap
para pelaku korupsi, memberikan keteladanan, dan memperkuat sanksi sosial
dimana individu akan merasa kurang mendapat dukungan sosial atas perilaku
korupnya. Mewajibkan kerja sosial seperti menyapu jalan bagi para pejabat
pelaku korupsi merupakan bentuk hukuman sosial yang efektif. Sedangkan
manipulasi norma subjektif bisa dilakukan melalui pendidikan anti korupsi baik
melalui pendekatan keagamaan maupun melalui pendekatan budaya.
Terakhir adalah mengurangi kesempatan seseorang untuk
melakukan korupsi. Upaya mengurangi kesempatan korupsi ini bisa dilakukan
dengan beragam cara seperti pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga
publik oleh masyarakat umum dan terutama oleh masyarakat akademis, transparansi
pengelolaan keuangan pemerintah, laporan kekayaan pejabat secara berkala kepada
publik, dan lainnya.
Agaknya dimasa depan diperlukan suatu tes psikologi untuk
screening calon pejabat negara, karena tipe kepribadian, sikap, niat, dan norma
subjektif tertentu yang dimiliki individu menyumbang terhadap kecenderungan
melakukan korupsi. Misalnya kepribadian yang manipulatif lebih berkecenderungan
melakukan korupsi. Pada akhirnya pendekatan psikologi adalah pendekatan yang
diaplikasikan pada pendekatan lain bukan suatu pendekatan yang bisa dilakukan
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar